Ceritanya dek Awin lagi bosan, lalu malah berakhir di bar kopi ini. Padahal bar kopi ini sudah ada dari empat tahun lalu, tapi baru hari ini kesampaian nongkrong ganteng di sini. Kebetulan juga hari ini bar kopi ini ulang tahun. Pas banget kan?
Pas sampai, ternyata bar kopi ini sedang sepi. Mungkin karena saya datangnya siang hari. Biasanya sih bar kopi begini ramainya malam hari, terutama malam minggu, bareng pacar. Karena menyeruput secangkir kopi lebih nikmat jika ditemani yang tersayang sembari mendengarkan lagu-lagu romantis masa kini. Ciye~
Karena sepi dan lagi solo, saya memutuskan untuk duduk di area bar depan baristanya. Biar ada teman ngobrol. Saya yang memang tidak berniat minum kopi hari ini hanya memesan segelas es cokelat untuk menyegarkan hari yang memang sedang panas seperti wanita yang terbakar cemburu. Halah!
Karena duduk di area bar, jadilah saya ngobrol gembira dengan baristanya. Setelah ngobrol panjang lebar, mas baristanya mengenalkan saya dengan berbagai jenis kopi asli Sumatera Barat. Saya kemudian ditawari mencicipi kopi buatannya. Awalnya saya ragu-ragu, karena secangkir kopi membuat saya tidak tidur semalaman dan berujung pada menonton maraton serial Netflix. Tapi berhubung penasaran dan mas baristanya menawarkan kopi racikannya yang paling recommended, akhirnya saya menyerah juga.
Katanya, ini kopi asal Kerinci yang dikeringkan secara natural. Rasanya tidak pahit, malah cenderung asam menurut saya. Aneh sih, karena saya terbiasa meminum kopi yang sudah dicampur dengan gula, susu, atau krimer. Jadi, mencicipi kopi dengan rasa aslinya tanpa tambahan apapun sedikit asing buat saya.
Ternyata, mencicipi kopi jenis ini harus diseruput pelan-pelan, bukan diteguk sekaligus. Rasa asam dan pahit kopi harus dinikmati dengan takzim. Menghargai rasa asli kopi, katanya. Ah, pantas saja teman-teman saya menggilai minuman berkafein ini. Memang rasanya nikmat, berbeda denga capuccino atau caramel macchiato yang biasa menjadi teman menulis saya.
Sembari menyeruput kopi dan menyelesaikan tulisan saya yang lain, saya ditemani pemilik bar kopi ini, Ko Arthur namanya. Saya langsung mengenali beliau karena sempat menghadiri diskusi tentang kopi sekitar dua tahun yang lalu. Kami berdiskusi hangat tentang banyak hal, skripsi saya, keresahan saya tentang pergeseran budaya, tentang pariwisata, dan tentunya, tentang kopi.
Kata Ko Arthur, kopi jenis arabika paling enak jika diminum tanpa tambahan apapun. Karena gula, susu, ataupun krimer akan merusak rasa asli kopinya. Berbeda dengan kopi jenis robusta yang memang rasa aslinya cukup pahit sehingga butuh tambahan rasa untuk menghilangkan rasa pahitnya. Ko Arthur juga menunjukkan sebuah diagram rasa kopi sebagai panduan.
Sebelum pulang, Ko Arthur meminta saya mencicipi satu jenis kopi lagi, kopi Solok. Dibanding kopi Kerinci, menurut saya kopi Solok rasanya lebih kalem. Kata Ko Arthur sih, karena proses pengolahan biji kopinya berbeda. Mungkin juga karena lahan tanamnya. Ada sedikit rasa manis yang tak bisa saya jelaskan dari kopi Solok ini. Mungkin saya sudah jatuh cinta pada kopi Solok ini pada tegukan pertama. Rasanya seperti bertemu seseorang dan hati ini berkata, "he's the one!". Oke, mulai ngawur.
Sayang, saya tidak bisa berlama-lama. Mungkin kapan waktu saya akan coba aneka jenis kopi lainnya. Selamat mengulang hari jadi, Lalito Coffee Bar, terima kasih telah mengajarkan saya sekelumit seluk beluk dunia kopi.
Lalito Coffee Bar
Jalan Wolter Monginsidi 2A
Padang Barat, Padang
Karena duduk di area bar, jadilah saya ngobrol gembira dengan baristanya. Setelah ngobrol panjang lebar, mas baristanya mengenalkan saya dengan berbagai jenis kopi asli Sumatera Barat. Saya kemudian ditawari mencicipi kopi buatannya. Awalnya saya ragu-ragu, karena secangkir kopi membuat saya tidak tidur semalaman dan berujung pada menonton maraton serial Netflix. Tapi berhubung penasaran dan mas baristanya menawarkan kopi racikannya yang paling recommended, akhirnya saya menyerah juga.
Katanya, ini kopi asal Kerinci yang dikeringkan secara natural. Rasanya tidak pahit, malah cenderung asam menurut saya. Aneh sih, karena saya terbiasa meminum kopi yang sudah dicampur dengan gula, susu, atau krimer. Jadi, mencicipi kopi dengan rasa aslinya tanpa tambahan apapun sedikit asing buat saya.
Ternyata, mencicipi kopi jenis ini harus diseruput pelan-pelan, bukan diteguk sekaligus. Rasa asam dan pahit kopi harus dinikmati dengan takzim. Menghargai rasa asli kopi, katanya. Ah, pantas saja teman-teman saya menggilai minuman berkafein ini. Memang rasanya nikmat, berbeda denga capuccino atau caramel macchiato yang biasa menjadi teman menulis saya.
Sembari menyeruput kopi dan menyelesaikan tulisan saya yang lain, saya ditemani pemilik bar kopi ini, Ko Arthur namanya. Saya langsung mengenali beliau karena sempat menghadiri diskusi tentang kopi sekitar dua tahun yang lalu. Kami berdiskusi hangat tentang banyak hal, skripsi saya, keresahan saya tentang pergeseran budaya, tentang pariwisata, dan tentunya, tentang kopi.
Kata Ko Arthur, kopi jenis arabika paling enak jika diminum tanpa tambahan apapun. Karena gula, susu, ataupun krimer akan merusak rasa asli kopinya. Berbeda dengan kopi jenis robusta yang memang rasa aslinya cukup pahit sehingga butuh tambahan rasa untuk menghilangkan rasa pahitnya. Ko Arthur juga menunjukkan sebuah diagram rasa kopi sebagai panduan.
aneka rasa dari rasa buah, bunga, hingga rempah harus sering-sering mengecap biar paham beda masing-masing rasa |
Sayang, saya tidak bisa berlama-lama. Mungkin kapan waktu saya akan coba aneka jenis kopi lainnya. Selamat mengulang hari jadi, Lalito Coffee Bar, terima kasih telah mengajarkan saya sekelumit seluk beluk dunia kopi.
Lalito Coffee Bar
Jalan Wolter Monginsidi 2A
Padang Barat, Padang