Bagi seluruh mayarakat Indonesia tanggal 30 September adalah peringatan peristiwa terbunuhnya tujuh perwira militer Indonesia pada tahun 1965. Bagi saya, dan seluruh masyarakat Sumatera Barat tanggal 30 September adalah peringatan terjadinya gempa 7,6 skala Richter 7 tahun yang lalu.
Gempa terbesar yang pernah saya rasakan seumur hidup saya....
Tak banyak yang saya ingat dari hari itu.
Saya ingat, gempa itu membuat tonggak rumah panggung milik oma saya bergeser beberapa senti.
Saya ingat beberapa ornamen di rumah itu jatuh dan nyaris mengenai kepala saya dan adik saya.
Saya ingat papa memeluk saya dan adik saya agar tak tertimpa apapun yang mungkin jatuh mengenai kami.
Saya ingat oma hanya diam sambil melantunkan zikir, dan berkata "awak kok ka mati, ka mati juo nyo" (kita kalau mau mati, bakalan mati juga).
Saya ingat, jalanan depan rumah kami penuh orang yang lari mengungsi dan kami bertahan demi oma yang tidak mau beranjak dari rumah.
Saya ingat, hanya radio (yang disiarkan melalui pengeras suara masjid) yang menjadi satu-satunya sumber informasi yang kami terima selama 24 jam, dengan walikota yang terus menerus berada di stasiun radio mengabarkan kondisi terbaru.
Kemudian, selama berminggu-minggu kemudian, hanya koran darurat yang diterbitkan Singgalang yang menjadi satu-satunya informasi cetak yang kami terima. Tidak ada TV karena listrik mati berminggu-minggu. Genset milik tetangga pun jadi andalan kami untuk sekedar mengisi baterai handphone.
Selama berminggu-minggu pula Bundo (bunda dalam bahasa Minang), kakak mama saya, memasakkan mie instan dan telur untuk kami setelah persediaan ikan dan daging membusuk di kulkas yang tak kunjung hidup.
Selama berminggu-minggu Padang bak kota mati. Orang-orang bertahan di barak pengungsian karena rumah mereka runtuh atau rusah berat. Nama-nama korban meninggal dan hilang berseliweran di koran darurat. Beberapa diantaranya adalah guru saya, teman saya, kenalan saya, bahkan adik kelas saya.
Gempa itu, menewaskan lebih dari seribu orang, merusak nyaris seluruh fasilitas umum yang ada.
Jangan tanya bagaimana rasanya saat itu. Saya gak bisa tulis rasanya. Bahkan hingga saat ini saya masih melawan ketakutan untuk naik ke lantai 3 dan seterusnya. Masih memberanikan diri naik lift sendirian meski dalam hati masih mengucap "gua benci lift!". Masih suka parno jika melihat ke bawah dari ketinggian.
Until today, I still remember all the chaos....
Prayers for all the victims, our beloved ones...