Judul: Eclair: Pagi Terakhir di Rusia
Penulis: Prisca Primasari
Penerbit: Gagasmedia
Tanggal Terbit: Maret 2011
Harga: Rp36.000,-
ISBN: 979-780-472-0
Penulis: Prisca Primasari
Penerbit: Gagasmedia
Tanggal Terbit: Maret 2011
Harga: Rp36.000,-
ISBN: 979-780-472-0
Seandainya bisa, aku ingin terbang bersamamu dan burung-burung di atas sana. Aku ingin terus duduk bersamamu di bawah teduhnya pohon-berbagi eclair, ditemani matahari dan angin sepoi-sepoi. Aku ingin terus menggenggam jari-jemarimu, berbagi rasa dan hangat tubuh-selamanya.
Sayangnya, gravitasi menghalangiku. Putaran bumi menambah setiap detik di hari-hari kita. Seperti lilin yang terus terbakar, tanpa terasa waktu kita pun tidak tersisa banyak. Semua terasa terburu-buru. Perpisahan pun terasa semakin menakutkan.
Aku rebah di tanah. Memejamkan mata kuat-kuat karena air mata yang menderas. "Aku masih di sini," bisikmu, selirih angin sore. Tapi aku tak percaya. Bagaimana jika saat aku membuka mata nanti, kau benar-benar tiada?
***
Membuka novel ini pertama kali, saya disajikan dengan 5 baris kalimat yang mampu merangsang rasa penasaran saya.
"Krasiwaya Devushka. Begitulah aku menyebutnya. Dia, yang bermata azure. Yang selalu berpaling dari kue eclair. Yang dikekang pilar-pilar mansion megahnya. Yang selalu menanti torehan belati di jantungnya." -Prisca Primasari, Eclair: Pagi Terakhir di Rusia
Siapa Krasiwaya Devushka? Mengapa ia diburu? Mengapa ia tidak menyukai eclair? Beragam pertanyaan mulai memenuhi benak saya. Prisca Primasari tahu benar bagaimana memancing minat pembaca.
***
Eclair berkisah tentang persahabatan empat orang pemuda dan seorang gadis. Ekaterina 'Katya' Fyodorovna yang berdarah bangsawan Rusia, kakak-beradik Sergei dan Stepanych Snegov, serta kakak-beradik blasteran Perancis-Rusia Kay dan Lhiver Olivier. Persahabatan ini kemudian pecah berantakan, menyebabkan berbagai perubahan sifat dari masing-masing tokoh. Katya enggan memakan eclair, Kay memilih untuk hidup nomaden sebagai fotografer, Stepanych jatuh sakit, dan Lhiver menghilang dalam keramaian kota Surabaya.
Kisah dimulai ketika Katya dan Sergei yang tengah mempersiapkan pernikahan mereka yang tinggal dua minggu didera kenyataan pahit bahwa kondisi kesehatan Stepanych semakin memburuk. Terlebih, Stepanych kerap kali mengigau, menyebut nama dua sahabatnya, Kay dan Lhiver. Kondisi Stepanych yang semakin buruk membuat Katya mengambil keputusan berani, menyusul Kay yang menetap di New York dan Lhiver yang tinggal di Surabaya serta meminta mereka untuk menjenguk Stepanych.
Menengok kembali masa lalu yang enggan untuk mereka ingat, dan mengobati luka yang terbuka sekian lama.
***
Novel ini bukanlah roman biasa (setidaknya bagi saya). Prisca membubuhi kisah tentang Tsar terakhir Rusia, Tsar Nicholas II (dalam ejaan Rusia disebut Tsar Nikolai II) dan keluarganya. Meski tentu dibumbuhi kisah fiksi untuk menyelaraskannya dengan kisah dalam novel ini. Beberapa adegan thriller khas kisah misteri detektif juga dihadirkan meski sebagai selingan. Agaknya Prisca ingin menegaskan bahwa novel yang ditulisnya bukanlah sekedar kisah romansa biasa, dan Prisca berhasil. Saya tertarik dan tak sabaran membuka lembar-lembar berikutnya. Bertanya-tanya apakah akhir cerita ini sesuai dengan dugaan saya. Namun, yang membuat saya sangat terkesan adalah cara Prisca menyajikan latar yang demikian apik. Rusia, Perancis, Amerika Serikat, dan Indonesia. St. Petersburgh, Paris, New York, dan Surabaya. Entah Prisca memang telah mengunjungi negara-negara tersebut atau belum, namun saya dapat mengatakan bahwa Prisca demikian mahir meramu latar-latar yang berbeda menjadi sebuah isah yang apik.
Secara keseluruhan saya menilai novel Eclair sebagai novel roman yang tak sekedar menampilkan romansa. Novel ini menyajikan arti keluarga, persahabatan, dan cinta. Terkesan klise? Mungkin sedikit quote berikut ini akan memberi pandangan baru.
"Mereka adalah kerlip cerah yang sungguh berarti baginya, bersinar, seperti arti dari eclair sendiri, yang berarti cahaya."-Halaman 127
"Hati yang merasakan dengan tulus jauh lebih baik daripada kata-kata manis yang palsu dan tidak berarti."-Halaman 146
"Dan bila ada hal yang membahagiakan sekaligus menyedihkan untuk dipikirkan, itu adalah masa lalu yang indah."-Halaman 224
Awalnya saya
berjanji pada Bang Yono, pemimpin redaksi www.inioke.com untuk menulis liputan
tentang Gadjah Mada Expo (GAMA Expo), salah satu rangkaian acara Gadjah Mada
Educational Road Show 2013 (GMERS 2013) yang diadakan oleh Forum Komunikasi
Mahasiswa Minang Universitas Gadjah Mada hari ini (03/02) di HW Hotel. Namun
saya pikir, akan sangat rugi bila saya hanya menulis sebuah liputan biasa
dengan rumus 5W+H. Saya tidak mau menyimpan motivasi yang saya dapat dari acara
ini untuk diri saya sendiri. Saya ingin membaginya dengan pembaca sekalian.
Honestly, saya sudah
sering ikut acara yang sejenis dengan Gadjah Mada Expo. Tapi yang biasa saya
lakukan adalah 3D; datang, duduk, diam. Tak sedikitpun motivasi dari narasumber
yang dihadirkan “menyentil” saya. Tapi, ketika saya menghadiri Gadjah Mada Expo
ini, saya seolah “ditampar” bolak-balik oleh para narasumber yang dihadirkan.
Untuk pertama kalinya, saya menyimak baik-baik apa yang disampaikan narasumber.
Tamparan pertama
saya dapat dari Mas Iwan Setyawan. Mas Iwan ini, saya kenal pertama kali
melalui novel yang dihadiahkan teman saya, 9
Summers 10 Autumns. Novel yang kemudian saya baca berulang kali ketika saya
merasa semangat saya mulai kendor. Ketika senior saya yang menjadi panitia
GMERS 2013 memberi tahu bahwa Mas Iwan akan menjadi pembicara saat GAMA Expo
nanti, saya langsung mendaftar tanpa pikir panjang. Saya harus bisa berjumpa
dengan Mas Iwan, pikir saya. Whatever the
way is, saya harus bertemu Mas Iwan dan mengucapkan terima kasih atas
novelnya yang menginspirasi saya.
Namun, ketika Mas
Iwan mulai berbicara di GAMA Expo dan memotivasi peserta yang hadir, saya malah
“ditampar” dengan kisah hidupnya (seperti yang saya rasakan saat pertama kali
membaca novelnya). Ayah saya bukan supir angkot, melainkan seorang PNS di balai
kota. Ibu saya tak sekedar ibu rumah tangga, tetapi juga seorang guru. Secara
kehidupan tentu saya berkecukupan dengan berbagai fasilitas yang diberikan
orangtua saya untuk menunjang kegiatan belajar saya. Orangtua saya tak harus
menjual angkot seperti yang dilakukan orangtua Mas Iwan untuk membiayai sekolah
saya dan adik saya. Namun saya, seperti kebanyakan manusia lainnya, lupa
mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan kepada saya.
“Saya baru mulai
membaca novel ketika dewasa, menulis di umur 30 tahun,” kata Mas Iwan. Ucapan
Mas Iwan ini, kembali menampar saya, mengingatkan saya pada ucapan seorang
senior saya. “Kamu beruntung, Win. Kelas 4 SD kamu sudah mulai menulis puisi,
kelas 1 SMA tulisan kamu sudah dimuat di koran lokal. Kamu juga dipertemukan
Tuhan dengan orang-orang yang menyemangatimu dalam menulis. Abang saja baru mulai
menulis kelas 2 SMA ini,” katanya. “Jangan pernah berhenti menulis, Win. Karena
diluar sana ada banyak orang yang tak memiliki kesempatan seperti kamu.” Hari
ini, saya menangisi diri saya yang sering kurang bersyukur atas nikmat yang
diberikan Tuhan.
Tamparan kedua
saya dapat dari Uda Vandy Yoga Swada, mahasiswa UGM yang menjadi pembicara di
GAMA Expo. Saya, menghadiri GAMA Expo dengan berbagai ketakutan yang menyelimuti
diri saya. Saya takut tak lulus UN, karena hasil TO dan pra-UN yang saya ikuti
(meski dilabeli keterangan “lulus”) tak menentramkan batin saya. Saya takut
tidak kuliah, melihat ketatnya persaingan di SNMPTN dan SBMPTN. “Hidup adalah
perjuangan,” kata Uda Vandy. Motivasi-motivasi dari Uda Vandy seolah meneriaki
saya untuk tidak jadi pengecut. Lagi-lagi, saya menangisi diri saya yang
pengecut dan tidak berani memerangi ketakutan saya. Saya tidak mau kalah
sebelum pertarungan dimulai.
Tamparan ketiga
saya dapat dari Ma’am Efi, guru Bahasa Inggris SMAN 2 Padang yang juga menjadi
pembicara di GAMA Expo. Kali ini, motivasi-motivasi Ma’am Efi tak sekedar
meneriaki atau menggampar saya, namun juga memukul saya dengan telak. “Kalau you mau jadi mahasiswa, bersikaplah
sebagai mahasiswa, change your behavior!”
ujarnya memotivasi para peserta. Dan saya, selama ini masih bersikap seperti
seorang siswa. For God’s sake! Ujian
Nasional tinggal 71 hari lagi dan saya baru membahas kurang dari 50% materi
yang akan diujiankan. Sekali lagi, saya menangisi diri saya yang masih
memelihara sifat malas saya.
Terakhir, saya
ditampar oleh penampilan teater dari mahasiswa UGM. Drama singkat ini,
menceritakan seorang mahasiswa baru UGM yang melihat realita hidup. Seorang
anak yang ditahan dipenjara karena mencuri sepotong roti, padahal ia kelaparan.
Seorang wakil rakyat yang malah menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan
pribadi. Seorang siswa yang putus sekolah karena tak ada biaya. Sebuah keluarga
petani yang terpaksa menahan lapar akibat hasil panen mereka dijarah
orang-orang berkuasa dengan alasan “untuk kepentingan bersama”.
Apa yang saya
dan para peserta saksikan pada drama itu, adalah kejadian yang kerap saya
saksikan. Di jalanan saya melihat anak kecil yang terpaksa putus sekolah karena
keterbatasan biaya. Di media saya melihat koruptor yang memakan uang rakyat.
Melalui film dokumenter saya melihat pelajar yang harus menaiki kapal, menembus
ganasnya laut untuk bersekolah. Negara kita, my dear readers, masih tertatih meniti tangga pembangunan. Negara
kita masih memperbaiki diri. Sepuluh tahun, dua puluh tahun yang akan datang,
kitalah yang akan menjalankan roda pembangunan bangsa. Saya tidak mau hanya
jadi penonton. I wanna make something,
saya mau ikut andil memajukan bangsa ini, by
my own way.
My dear readers, motivasi
yang benar-benar saya camkan pada diri saya adalah, whatever your dream is, mulailah dari langkah-langkah kecil. Segila
apapun mimpi Anda, para pembaca yang budiman, Anda harus tahu langkah apa yang
harus Anda lakukan, dan mulailah dari step
yang kecil.
Lastly, my dear readers, saya
berjanji pada diri saya, hari ini saya adalah Alifia Seftin Oktriwina, seorang
siswi SMA dan jurnalis pelajar. Tapi enam tahun dari sekarang, saya sudah
menyelesaikan studi saya di bidang psikologi hingga S2, menjadi seorang
psikolog dan konselor bagi remaja, serta menelurkan karya yang mampu
menginspirasi banyak orang. My dear
readers, make your dreams come true.