Cover diambil dari Goodreads.com |
Penulis: Ragdi F. Daye
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House
Tahun terbit: 2010
Jumlah halaman: 180 halaman+vii
Format: Paperback
ISBN: 9786-0284-2681-6
Kisah cinta yang gugup, identitas orang kampung yang menggigil karena deru modernitas, dan tradisi Minangkabau yang meleleh, adalah pusaran yang kuat dalam tema-tema kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu. Dengan alur yang cerdas dan bahasa yang memukau, kisah-kisah di dalam buku ini akan membawa kita ke dalam makna cinta, kemanusiaan, dan keberadaan tradisi yang sesungguhnya.
***
Ini buku kumcer pertama yang saya baca tahun ini, dan kali ini saya baca kumcer karya penulis yang benar-benar lokal. Ragdi F. Daye adalah urang awak, orang Minang asli. Meski saya tidak tau persis dimana Minangnya.
Saya ingat sewaktu masih berguru menulis pada bangDod, buku ini termasuk salah satu rekomendasinya untuk dibaca. Terutama karena cara Ragdi mendeskripsikan sebuah scene dengan detil.
Tapi itu gak masalah besar sih, toh gak terlalu mempengaruhi jalan cerita juga. Overall, Ragdi sukses mengangkat tema lokal dalam cerpennya. Tentang tradisi Minang yang mulai melebur dalam modernitas yang sok kebarat-baratan. Juga tentang kesenjangan sosial di masyarakat yang bagai langit dan bumi.
Saya ingat sewaktu masih berguru menulis pada bangDod, buku ini termasuk salah satu rekomendasinya untuk dibaca. Terutama karena cara Ragdi mendeskripsikan sebuah scene dengan detil.
Kau meraih sendok alumunium yang telungkup di atas daun pisang dalam piring plastik berisi sate pesananmu. Jari-jari tangan kirimu menjepit sebatang lidi yang ditancapi lima potong lokan berlumur kuah merah kecoklatan. Kauangkan lidi itu. Membawanya ke depan mulut. Bibirmu terkuak. ujung lidi itu menyentuh bibirmu yang pecah-pecah. Kau menggigit sepotong sate. Menarik lidi itu secara perlahan sehingga potongan itu tertawan di mulutmu. - Perempuan Bawang, halaman 2Perut saya langsung berbunyi setelah membaca paragraf di atas. Deskripsi Ragdi benar-benar detil. Bukan hanya itu, Ragdi juga menyelipkan kata-kata berbahasa Minang dalam cerpen-cerpennya. Bahkan, beberapa diantaranya adalah kata yang sudah dibakukan dalam KBBI. Tapi sayang, hanya beberapa cerpen saja yang diselipkan catatan kaki, menjelaskan frasa-frasa berbahasa Minang yang ada dalam cerpennya. Untuk saya yang sejak pandai bicara sudah mengenal bahasa Minang tentu tidak masalah. Tapi untuk orang-orang yang tidak kenal bahasa Minang sama sekali, tentu sedikit kesulitan.
Tapi itu gak masalah besar sih, toh gak terlalu mempengaruhi jalan cerita juga. Overall, Ragdi sukses mengangkat tema lokal dalam cerpennya. Tentang tradisi Minang yang mulai melebur dalam modernitas yang sok kebarat-baratan. Juga tentang kesenjangan sosial di masyarakat yang bagai langit dan bumi.
dedicated to reading challenge