[NONTON] Hujan Bulan Juni (2017)
8:04 AM
Judul Film : Hujan Bulan Juni
Produser : Chand Parwez Servia, Avesina Soebli
Sutradara : Hestu Saputra, Reni Nurcahyo
Penulis Skenario : Titien Wattinema, (berdasarkan novel) Sapardji Djoko Darmono
Penulis Skenario : Titien Wattinema, (berdasarkan novel) Sapardji Djoko Darmono
Aktor : Velove Vexia, Adipati Dolken, Baim Wong, Surya Saputra, Koutaro Kakimoto
Tanggal Rilis : 2 November 2017
Tanggal Rilis : 2 November 2017
Durasi : 96 menit
Pingkan (Velove Vexia), dosen muda Sastra Jepang Universitas Indonesia, mendapat kesempatan belajar ke Jepang selama 2 tahun. Sarwono (Adipati Dolken) nelangsa mendengar kabar ditinggal Pingkan, yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.
Sarwono ditugaskan Kaprodinya untuk mempersentasikan kerjasama ke Universitas Sam Ratulangi Manado. Sarwono pun membawa serta Pingkan sebagai guide-nya selama di Manado. Pingkan bertemu dengan keluarga besar almarhum ayahnya yang Manado. Ia mulai dipojokkan oleh pertanyaan tentang hubungannya dengan Sarwono. Apalagi kalau bukan masalah perbedaan yang di mata mereka sangat besar. Bukannya Pingkan (dan Sarwono) tidak menyadarinya. Mereka sudah terlanjur nyaman menetap bertahun-tahun di dalam ruangan kedap suara bernama kasih sayang. (sinopsis diambil dari 21cineplex.com).
***
Sekarang untuk nonton film, terutama film lokal sudah lebih mudah sejak adanya aplikasi Video on Demand (VOD) seperti HOOQ, Iflix, dan Netflix walaupun netflix diblokir provider merah. Saya jadi nggak perlu kalang kabut ketika tidak bisa menonton film kekinian di bioskop karena sebagian besar film-film tersebut sudah dibeli lisensinya oleh penyedia-penyedia VOD. Termasuk film Hujan Bulan Juni, yang akhirnya saya tonton setelah berbulan-bulan turun dari layar bioskop.
Bagi saya, Hujan Bulan Juni adalah karya yang menembus dimensi (dalam artian bentuk karya). It was a poem at first, then people musicalize it (for way too many times), then it becomes a novel, a song, and a movie. Kalau Hujan Bulan Juni adalah manusia, dia adalah manusia pertama yang menembus dimensi ruang dan waktu.
Tapi, apakah eksekusi filmnya seapik puisinya? Jujur saya akui pakem "novel lebih baik dari film" sangat berlaku pada film ini, di luar fakta bahwa penulis novelnya adalah sastrawan sekaliber SDD. Ketika membaca novelnya, saya merasakan sensasi bittersweet dari romansa Sarwono dan Pinkan, bunga-bunga romansa mereka ketika berbalas puisi atau sekedar berbicara, kegalauan mereka yang terjebak pada pertanyaan "are we exclusive?" kayak anak djaman sekarang, insekuritas Sarwono yang takut Pingkan digondol bule Jepang Katsuo, insekuritas Pingkan karena Sarwono tak kunjung bilang cinta, hingga polemik agama yang tak sejalan.
Saya menikmati bagaimana Sapardi menggambarkan Sarwono si penyair medhok yang lihai membuai Pingkan dengan puisi-puisinya, atau Pingkan yang berbunga-bunga tiap Sarwono mengirimkan puisi. Saya menikmati tiap kali Pingkan bertanya "apa itu cinta?" pada Sarwono. Saya menikmati, bahkan ikut baper dengan kisah romansa mereka.
Namun ketika novel ini divisualkan dalam bentuk film, saya tidak merasakan "feel" yang sama. Saya merasa Adipati Dolken tidak memiliki kharisma yang sama dengan Sarwono, medhok-nya kurang greget. Padahal Velove Vexia cukup apik memerankan karakter Pingkan. Sayang sekali chemistry mereka tidak seapik Sarwono dan Pingkan.
Adegan-adegan yang diarahkan oleh Hestu Saputra ini menurut saya terlalu "manis", seperti dessert kebanyakan gula. Banyak adegan yang terkesan dipaksakan, seolah diharuskan ada. Akhirnya feel yang saya dapatkan ketika membaca puisi dan novelnya tidak saya rasakan saat menonton filmnya. Untungnya adegan-adegan ini terselamatkan oleh karakter Beni yang diperankan Baim Wong. Karakter Beni yang slengean pas sekali di tangan Baim Wong. Karakter Beni lah yang kemudian menghidupkan roman Sarwono dan Pingkan. Kelakar Beni yang seolah mencampuri kehidupan cinta mereka mampu mengundang kulum senyum penonton.
Hal lain yang berbeda dalam film ini dari novelnya adalah penyelesaian masalah alias ending yang menurut saya merupakan perkembangan dari novelnya sendiri. Penasaran? Silahkan tonton Hujan Bulan Juni melalui HOOQ#bukaniklan
Bagi saya, Hujan Bulan Juni adalah karya yang menembus dimensi (dalam artian bentuk karya). It was a poem at first, then people musicalize it (for way too many times), then it becomes a novel, a song, and a movie. Kalau Hujan Bulan Juni adalah manusia, dia adalah manusia pertama yang menembus dimensi ruang dan waktu.
"tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu"
- Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Darmono
Tapi, apakah eksekusi filmnya seapik puisinya? Jujur saya akui pakem "novel lebih baik dari film" sangat berlaku pada film ini, di luar fakta bahwa penulis novelnya adalah sastrawan sekaliber SDD. Ketika membaca novelnya, saya merasakan sensasi bittersweet dari romansa Sarwono dan Pinkan, bunga-bunga romansa mereka ketika berbalas puisi atau sekedar berbicara, kegalauan mereka yang terjebak pada pertanyaan "are we exclusive?" kayak anak djaman sekarang, insekuritas Sarwono yang takut Pingkan digondol bule Jepang Katsuo, insekuritas Pingkan karena Sarwono tak kunjung bilang cinta, hingga polemik agama yang tak sejalan.
Saya menikmati bagaimana Sapardi menggambarkan Sarwono si penyair medhok yang lihai membuai Pingkan dengan puisi-puisinya, atau Pingkan yang berbunga-bunga tiap Sarwono mengirimkan puisi. Saya menikmati tiap kali Pingkan bertanya "apa itu cinta?" pada Sarwono. Saya menikmati, bahkan ikut baper dengan kisah romansa mereka.
Namun ketika novel ini divisualkan dalam bentuk film, saya tidak merasakan "feel" yang sama. Saya merasa Adipati Dolken tidak memiliki kharisma yang sama dengan Sarwono, medhok-nya kurang greget. Padahal Velove Vexia cukup apik memerankan karakter Pingkan. Sayang sekali chemistry mereka tidak seapik Sarwono dan Pingkan.
Adegan-adegan yang diarahkan oleh Hestu Saputra ini menurut saya terlalu "manis", seperti dessert kebanyakan gula. Banyak adegan yang terkesan dipaksakan, seolah diharuskan ada. Akhirnya feel yang saya dapatkan ketika membaca puisi dan novelnya tidak saya rasakan saat menonton filmnya. Untungnya adegan-adegan ini terselamatkan oleh karakter Beni yang diperankan Baim Wong. Karakter Beni yang slengean pas sekali di tangan Baim Wong. Karakter Beni lah yang kemudian menghidupkan roman Sarwono dan Pingkan. Kelakar Beni yang seolah mencampuri kehidupan cinta mereka mampu mengundang kulum senyum penonton.
Hal lain yang berbeda dalam film ini dari novelnya adalah penyelesaian masalah alias ending yang menurut saya merupakan perkembangan dari novelnya sendiri. Penasaran? Silahkan tonton Hujan Bulan Juni melalui HOOQ
11 komentar
Eh, per Januari 2019 Netflix blokirnya udah dibuka deh kayaknya. Saya sempat baca beritanya.
BalasHapusHm, menurut saya di film ini Adipati Dolken terlalu kekinian untuk memerankan Sarwono. Hehe.
wah? udah gak diblokir lagi? saya baru tau nih
HapusSeperti asik juga nih filmnya
BalasHapusbaper diluar tanggung jawab pe-review
Hapusbaim wong memang kualitasnya udah di atas rata rata artis macam adipati dolken, yapp kebanyakan artis sekarang modal ganteng tanpa bakat seni yang mumpuni
BalasHapusMungkin pengaruh jam terbang ya? Secara Baim Wong sudah lebih dulu menjajal dunia seni peran
HapusKu punya bukunyaaa
BalasHapusDan agak beda sama film nya hahahahhahaa
Karena yang di buku cuma separoh jalan daddy :))))
HapusAda buku keduanya :))))
Rata-rata memang begitu ya mbak, bila novel yang difilmkan banyak yang tidak sesuai. Aku sih lebih suka membaca novelnya terlebih dahulu, baru nonton filmnya, jadi dapat feelnya seperti yang mbak katakan.
BalasHapusKembali lagi kepada si pembuat film dan kesepakatannya dengan sang penulis sih mbak. Tapi memang sulit memvisualisasikan semua unsur novel ke dalam sebuah film, makanya terpaksa ada beberapa adegan di novel yang ditiadakan
HapusAku udah nonton juga loh... :)
BalasHapusThank you for leaving a comment. Please come back!