Komitmen Hidup di Luar Negeri
12:57 PM
Siapa sih, yang tak ingin hidup di luar negeri? Bagi saya yang selama nyaris 22 tahun hidup di tanah kelahiran, hidup (kerja/kuliah) di luar negeri adalah satu dari beragam keinginan yang saya tulis di bucket list saya. Paling tidak, menjejakkan kaki untuk sekedar travelling juga boleh.
Sayangnya, niat saya untuk berkelana ke luar negeri terharang restu orang tua yang memang susah jauh dari anak-anaknya. Jangankan untuk keluar negeri, ikut kegiatan ILMPI di luar kota saja saya izinnya paling tidak tiga bulan menjelang berangkat (yep, you read it right!). Belum lagi syarat untuk tinggal di luar negeri buat saya adalah harus nikah dulu. Nah, berat kan? Berhubung belum nikah dan belum berniat untuk menikah dalam waktu dekat untuk sementara saya hanya bisa blogwalking membaca kisah para blogger yang hidup di luar negeri. Salah satunya adalah mbak Alfa yang kini menetap di Brunei.
Saya dan mbak Alfa memiliki setidaknya dua kemirpan. Kami sama-sama berkacamata dan memiliki latar belakang psikologi. Yah, kalo mbak Alfa sih udah kelar kuliahnya, beda sama saya yang masih jungkir balik sama skripsi.
Buat saya, hidup di luar negeri itu butuh komitmen luar biasa. Kenapa? Karena pindah ke luar negeri bukan sekedar pindah badan sama pindah isi lemari. Saya membuat beberapa list komitmen apa aja yang harus dipenuhi
1. Keluar dari zona nyaman
Yep, lingkungan baru, suasana baru, semua serba baru, dan belum tentu sesuai dengan keinginan atau bayangan kita. It's a new challenging life. Di luar negeri sana belum tentu ada kenalan, belum tentu bisa dengan mudah membeli bumbu dapur ala Indonesia, belum tentu.... ah, you name it lah! Udah siap keluar dari "zona nyaman" yang selama ini ada di sekeliling?
2. Beradaptasi
Related to poin number 1, kita tentu harus beradaptasi dengan segala hal yang serba baru. Tempat tinggal, lingkungan sosial, lingkungan kerja, iklim, aturan, sistem, dan seterusnya dan sebagainya. Syukur kalau bisa beradaptasi dengan cepat. Kalau enggak? Mmmmhhh.......
3. Mencari makanan halal
Nah, buat yang muslim nih. Tinggal di negara asing, apalagi di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, nyari makanan yang halalan thoyyiban itu susah-susah gampang. Sekalipun masak sendiri, tetap saja harus memperhatikan bahan-bahan makanan yang halal. Sekarang sih udah banyak ya, muslim center ataupun kedai-kedai yang menjajakan makanan halal. Tapi kalau kamu berada di negara kecil yang belum mempromosikan halal lifestyle, mungkin kamu bisa memilih opsi mejadi vegetarian.
4. Menghadapi stereotipe
Dimana pun kamu tinggal, yang namanya stereotipe itu pasti ada. Apalagi kalau jadi minoritas. Pertanyaan-pertanyaan aneh-nyeleneh-kadang-ngeselin bisa saja dialamatkan ke kamu. Pakai jilbab di tengah teriknya matahari summer? Bakal ada yang heran kenapa kamu nggak kepanasan. Puasa di tengah dinginnya winter? Ada yang heran kenapa sampai sekarang kamu belum tewas (what?). Atau kamu dikira chinese sementara darahmu Minang tulen sekental-kentalnya #truestory.
INTINYA, kamu harus siap mental buat hidup di luar negeri. Hidup ini keras jendral! #halah
Tapi sepertinya everything is going smooth and well ya mbak Alfa? Membaca cerita-cerita tentang kesehariannya di Brunei seru sekali. Ah, semoga saya juga bisa nyicip once in a lifetime tinggal di luar negeri.
Saya dan mbak Alfa memiliki setidaknya dua kemirpan. Kami sama-sama berkacamata dan memiliki latar belakang psikologi. Yah, kalo mbak Alfa sih udah kelar kuliahnya, beda sama saya yang masih jungkir balik sama skripsi.
Di profilnya ada infografis begini Kece binggo gak sih? |
1. Keluar dari zona nyaman
Yep, lingkungan baru, suasana baru, semua serba baru, dan belum tentu sesuai dengan keinginan atau bayangan kita. It's a new challenging life. Di luar negeri sana belum tentu ada kenalan, belum tentu bisa dengan mudah membeli bumbu dapur ala Indonesia, belum tentu.... ah, you name it lah! Udah siap keluar dari "zona nyaman" yang selama ini ada di sekeliling?
2. Beradaptasi
Related to poin number 1, kita tentu harus beradaptasi dengan segala hal yang serba baru. Tempat tinggal, lingkungan sosial, lingkungan kerja, iklim, aturan, sistem, dan seterusnya dan sebagainya. Syukur kalau bisa beradaptasi dengan cepat. Kalau enggak? Mmmmhhh.......
3. Mencari makanan halal
Nah, buat yang muslim nih. Tinggal di negara asing, apalagi di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, nyari makanan yang halalan thoyyiban itu susah-susah gampang. Sekalipun masak sendiri, tetap saja harus memperhatikan bahan-bahan makanan yang halal. Sekarang sih udah banyak ya, muslim center ataupun kedai-kedai yang menjajakan makanan halal. Tapi kalau kamu berada di negara kecil yang belum mempromosikan halal lifestyle, mungkin kamu bisa memilih opsi mejadi vegetarian.
4. Menghadapi stereotipe
Dimana pun kamu tinggal, yang namanya stereotipe itu pasti ada. Apalagi kalau jadi minoritas. Pertanyaan-pertanyaan aneh-nyeleneh-kadang-ngeselin bisa saja dialamatkan ke kamu. Pakai jilbab di tengah teriknya matahari summer? Bakal ada yang heran kenapa kamu nggak kepanasan. Puasa di tengah dinginnya winter? Ada yang heran kenapa sampai sekarang kamu belum tewas (what?). Atau kamu dikira chinese sementara darahmu Minang tulen sekental-kentalnya #truestory.
INTINYA, kamu harus siap mental buat hidup di luar negeri. Hidup ini keras jendral! #halah
Tapi sepertinya everything is going smooth and well ya mbak Alfa? Membaca cerita-cerita tentang kesehariannya di Brunei seru sekali. Ah, semoga saya juga bisa nyicip once in a lifetime tinggal di luar negeri.
Kinda like kartu nama bikinan mbak Alfa waktu nulis tentang saya di blognya. Keren ya? |
1 komentar
hmm.. Timur Leste juga termasuk luar negeri lho deeeek
BalasHapusThank you for leaving a comment. Please come back!